Manusia adalah cerita bagi generasi berikutnya. Maka kita harus menjadi cerita yang baik.
Selanjutnya manusia dengan kecerdasan akalnya, mulai mengotak-atik keotentikan al-Qur'an. Peristiwa ini banyak dilakukan oleh kaum Orientalis, Mereka mengunakani metodologi menganalisa Al-Kitab (Bible) ketika mengkaji dan menganalisa Al-Quran. Pendeta Edward Sell, misalnya, menyeru sekaligus mendesak agar kajian terhadap kesahihan sejarah Al-Quran dilakukan. Menurutnya, kajian kritik-historis al-Quran tersebut perlu menggunakan metodologi analisa Al-Kitab (Bible) (Biblical Higher Criticism),seperti halnya,Pendeta Alphonse Mingana pada awal-awal karyanya menyatakan bahwa:"Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks (yakni penganalisaan teks) terhadap al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap Al-Kitab (Bible) Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan Kitab Suci Injil Kristian yang berbahasa Yunani." dalam Alphonse Mingana, Syriac Influence on the Style of the Kur'an, Manchester Bulletin 11: 1927. begitulah pemikiran Orientalis padahal al-Qur'an tidak sama dengan bibel. Al-Qur'an adalah firman Allah. Selalu Terjaga keotentikannya. Meski berbagai rongrongan dilakukan al-Qur'an tetap tidak akan bisa dimusnahkan. Inna nazzalna aldzikro wa inna lahu lahaafidzun (kami yang menurunkan al-Qur'an maka kami pula yang akan menjaganya). Inilah yang membedakan al-Qur'an dengan bible.
Penulis adalah Mahasiswa Semester VII Fak. Dakwah Jur. Komunikasi Penyiaran Islam di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien.
Horai Timings
5 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar